hmidipo dinilai lebih moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan mpo dinilai lebih fundamental dan tidak mau menyerah pada pemerintah yang tiran., terkait dengan islah yang sering diwacanakan oleh kader hmi sejak lama, aji berencana akan membuat road map berupa kajian terkait kesamaan antara hmi mpo dan hmi dipo Pergerakankemahasiswa di Kota Bandar Lampung semakin semarak dengan hadirnya Hmi versi Mpo (Majelis penyelamat organisasi ) sebagai antitesa dari Hmi Mengenal HMPI MPO Bandar Lampung Halaman 1 - Kompasiana.com HMIDIPO eksis dengan segala fasilitas negaranya, dan HMI MPO tumbuh menjadi gerakan underground yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan negara. Jama'ah HMI MPO walaupun sedikit namun kompak, mereka yakin bahwa apa yang diperjuangkannya untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan Islam sebagai azas.Sejarah mencatat, setelah reformasi setelah azas tunggal pancasila dicabut, berbondong-bondonglah ormas-ormas dan orpol-orpol kembali ke azas semula. Tak terkecuali HMI DIPO, akhirnya Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd. Type and hit Enter to search Awalnya hanyalah Majelis Penyelamat Organisasi. Dibentuk oleh beberapa kader untuk menyelamatkan Himpunan Mahasiswa Islam HMI dari kooptasi Orde diplomasi mereka tempuh, mempertanyakan sikap Pengurus Besar PB HMI yang mengubah asas Islam menjadi Pancasila, namun apa daya, aksi mereka tidak ditanggapi positif oleh PB HMI lebih mengakomodir tekanan pemerintah orde baru dari pada sikap beberapa cabang yang menolak asas tunggal Pancasila. Perpecahan pun tak dapat dielakkan, HMI pun menjadi itu terjadi pada tahun 1985. Kongres HMI ke-16 pada tahun 1986 diadakan di dua tempat, yaitu Padang sebagai tempat kongres HMI dengan asas Pancasila dan Yogyakarta sebagai tempat HMI dengan asas Islam. Di dua kongres itulah perpecahan HMI resmi menjadi dua, HMI dengan asas Pancasila yang kemudian terkenal dengan HMI Dipo – merujuk kepada alamat sekretariat PB HMI di Jalan Diponegoro Jakarta, dan HMI dengan asas Islam yang diisi oleh cabang-cabang yang tergabung dengan Majelis Penyelamat Organisasi yang kemudian terkenal dengan HMI tidak banyak cabang yang tergabung dalam HMI MPO. Pada awalnya hanya ada 13 cabang. Namun konsistensi dalam mempertahankan idealisme perjuangan telah mengantarkan HMI MPO bisa bertahan hingga orde baru tidak mampu meruntuhkan semangat kader-kader HMI MPO untuk berpindah haluan, meskipun banyak diantara mereka yang keluar-masuk penjara, bahkan tidak sedikit juga yang harus melarikan diri hingga ke luar HMI Dipo, konon katanya setelah rezim orde baru runtuh, mereka telah kembali ke asas Islam. Sebagai bagian dari dinamika organisasi, kembalinya HMi Dipo ke asas Islam haruslah kita apresiasi, meskipun tidak sedikit yang mencibir sikap HMI Dipo yang tidak kini, setelah dua HMI sama-sama berasaskan Islam, apakah tidak sebaiknya bersatu alias islah? Pertanyaan ini banyak terlontar, baik dari kader-kader HMI Dipo atau HMI MPO. Bahkan tidak sedikit alumni masa perpecahan yang ingin menyatukan lagi dua HMI Jalan Panjang yang Mungkin BuntuUpaya islah yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk menyatukan dua HMI – HMI MPO dan HMI Dipo – bukanlah sesuatu hal yang mudah. Apalagi dua organisasi ini semakin berkembang dengan idealisme dan sejarahnya Khittah Perjuangan sebagai manhaj perjuangan HMI MPO, menggantikan Nilai Dasar Perjuangan NDP, semakin mempertegas perbedaan dua HMI ini sekaligus menjadi tembok pembatas yang Khittah Perjuangan pada HMI MPO dan NDP pada HMI Dipo telah membuat kultur atau laku organisasi juga perpedaan tentang cara pandang, konteks historis akibat perpecahan juga harus diperhatikan. Cerita-cerita tentang senior-senior yang dikejar-kejar oleh aparat, digrebek ketika mengadakan pelatihan, hingga harus keluar masuk penjara secara tanpa sadar telah mewariskan luka kepada generasi materi Sejarah HMI menjadi materi favorit di setiap Latihan Kader LK I HMI MPO. Sebaliknya di LK I HMI Dipo tidak disebutkan tentang sejarah perpecahan HMI, atau mungkin disebutkan tentang sejarah perpecahan tetapi dengan porsi waktu yang kongres HMI Dipo di Palembang pada 2008, sempat muncul isu islah, hal ini diakibatkan oleh kehadiran Ketua Umum PB HMI MPO, Syahrul Efendi Dasopang, di forum isu adanya islah dibantah oleh Syahrul sendiri. Ia mengatakan bahwa islah saat itu hanyalah islah moral sebagai syiar Islam, bukan islah secara sendiri beberapa kali mendengar secara langsung adanya beberapa alumni HMI yang menyarankan untuk islah, tidak hanya alumni sebelum perpecahan, tetapi juga beberapa alumni pasca beberapa alumni yang mempunyai alasan secara ideologis, biasanya mereka melihat bahwa HMI MPO dan HMI Dipo sekarang telah sama-sama memakai azas Islam, selain itu juga ada yang hanya beralasan pragmatis, agar HMI bertambah besar dan saat isu islah berhembus semakin kencang, di sisi yang lain, konflik-konflik malah banyak terjadi terutama di tubuh HMI kongres tahun 2013 yang diselenggarakan di Jakarta, yang berlangsung kurang lebih selama satu bulan, yang melahirkan Arif Rosyid sebagai ketua umum PB HMI Dipo, ternyata menyisakan masalah ketika beberapa cabang memutuskan untuk mengadakan kongres lanjutan di Malang, yang kemudian melahirkan Adi Baiquni sebagai ketua umum. Selanjutnya muncul cabang-cabang tandingan bentukan PB HMI Dipo versi Adi BaiquniKericuhan juga terjadi di kongres 2015 di Pekanbaru. Kongres yang katanya menghabiskan anggaran 3 milyar lebih ini memang tidak sampai molor hingga satu bulan, tetapi suasana panas yang berujung pada bentorkan antar peserta kongres tetap menjadi bumbu nasional ramai memberitakan sisi-sisi negatif dari kongres HMI Dipo ini, baik di luar forum kongres maupun di dalam forum sejatinya juga terjadi pada tubuh HMI MPO, tetapi konflik tidak berdampak luas seperti HMI Dipo. Setidaknya pada HMI MPO, konflik tidak memunculkan PB atau cabang-cabang tandingan. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh minimnya prestise yang ditawarkan oleh HMI MPO dibandingkan dengan HMI memang baik, apalagi dilakukan dengan niat yang baik, tidak atas tendensi politik atau karena intervensi pihak luar termasuk alumni. Oleh karena itu islah harus diinisiasi sendiri oleh pelaku sejarah organisasi, yaitu PB HMI MPO dan PB HMI Dipo dengan melibatkan itu, islah bukan semudah membalikkan telapak tangan, sehingga ia adalah sebuah jalan panjang bagi pihak-pihak yang ingin menyatukan dua HMI sebuah jalan panjang, bisa jadi ia tidak berujung atau malah menemui jalan buntu. Mengingat dua HMI ini sekarang telah berkembang dengan tradisinya Perlu Islah, Perkuat SilaturrahmiMelihat beberapa hal di atas, penulis melihat sulitnya HMI MPO dan HMI Dipo bersatu lagi selain terkait alasan ideologis juga karena faktor internal organisasi yang semakin hari semakin banyak konflik yang muncul, terutama pada HMI mungkin bisa islah ketika kemudian muncul lagi HMI yang baru? hal inilah yang perlu di perhatikan oleh PB HMI baik MPO maupun DipoSebagai bagian dari HMI MPO, penulis berpendapat bahwa HMI MPO dan HMI Dipo tidak perlu islah, tetapi cukup memperkuat tali konsolidasi bersama dan tentunya juga dengan organisasi-organisasi kemahasiswaan yang lain. Seperti yang penulis katakan di atas, islah bisa jadi hanya akan menemui jalan buntu, meskipun semua itu masih serba islah, mungkin terpecah lebih banyak lagi, dan mungkin akan mati mendahului organisasi-organisasi kemahasiswaan yang suatu hari, penulis mendapati sebuah cerita dari seorang pengader yang memandu LK I salah satu komisariat di bercerita kalau ada salah satu alumni komisariat yang berkunjung di lokasi LK I dan mengatakan padanya kalau HMI MPO dan Dipo tidak perlu islah, malah kalau bisa pecah lagi, biar HMI tambah banyak. Karena itu berarti semakin banyak wadah bagi mahasiswa untuk berorganisasi dengan membawa tradisi HMI. - Himpunan Mahasiswa Islam HMI adalah salah satu organisasi massa yang ikut mengawal perkembangan Indonesia di awal kemerdekaan. Organisasi ini lahir atas prakarsa 15 mahasiswa Sekolah Tinggi Islam STI, yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia UII di tahun 1947. Lafran Pane adalah salah satu tokoh yang mencetuskan ide pendirian HMI. Saat itu, dia melihat dan menyadari bahwa mahasiswa Islam yang hidup di zamannya, umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agama. Penyebabnya adalah sistem pendidikan dan kondisi masyarakat yang belum terlalu mendukung pelaksanaan agama di dalam kehidupan itu, demi mengubah keadaan, maka perlu dibentuk sebuah organisasi. Organisasi mahasiswa ini diharapkan dapat mengantarkan mahasiswa mengikuti pembaruan atau inovasi di berbagai bidang, sekaligus mengakomodasi pemahaman dan penghayatan ajaran agama yaitu agama Islam. Mengutip laman HMI, pada 5 Februari 1947, Lafran Pane mengadakan rapat mendadak dengan mengambil waktu pada jam perkuliahan Tafsir. Rapat dilakukan di salah satu ruang kuliah STI yang saat itu berdomisili di Jalan Setiodiningratan Jalan Panembahan Senopati, Kota Yogyakarta. Lafran mengatakan persiapan untuk pembentukan organisasi mahasiswa Islam sudah beres. Lalu, ajakan Lafran tersebut disambut 14 mahasiswa STI lain yang hadir dalam rapat. Akhirnya, terbentuklah HMI dengan menerima siapa pun yang ikut bergabung dan tidak menggubris lagi dengan siapa pun yang menentangnya. Dan, secara lengkap tokoh yang menghadiri berdirinya HMI saat itu adalah Lafran Pane Yogya, Karnoto Zarkasyi Ambarawa, Dahlan Husein Palembang, Siti Zainah Palembang, Maisaroh Hilal Singapura, Soewali Jember, Yusdi Ghozali Pendiri PII-Semarang, Mansyur Anwar Malang, Hasan Basri Surakarta, Marwan Bengkulu, Zulkarnaen Bengkulu, Tayeb Razak Jakarta, Toha Mashudi Malang, dan Bidron Hadi Yogyakarta. Ada dua tujuan yang hendak dicapai atas berdirinya HMI. Pertama, mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia. Kedua, menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam. Dalam rapat pendirian itu turut mengesahkan anggaran dasar HMI. Sementara untuk Anggaran Rumah Tangga dibuat kemudian. Agar mengukuhkan eksistensi HMI, dibentuk pengurus HMI yang pertama dengan susunan Ketua Lafran PaneWakil Ketua Asmin NasutionPenulis I Anton Timoer DjailaniPenulis II Karnoto ZarkasyiBendahara I Dahlan HuseinBendahara II Maisaroh Hilal, SoewaliAnggota Yusdi Gozali, Mansyur Seiring berjalannya waktu, HMI makin diterima oleh para mahasiswa muslim Indonesia. Nama HMI makin besar. Namun, ada gejolak yang membuat HMI menjadi terpecah menjadi dua. Konflik internal terjadi setelah Kongres HMI ke 15 di Medan pada 1983. Tiga tahun setelah itu, atau pada 1986, HMI memutuskan menerima asas tunggal Pancasila yang dijalankan oleh rezim Orde Baru. Dengan demikian, asas HMI bukan lagi Islam, melainkan Pancasila. Pertimbangan mengubah asas ini cenderung alasan politis dan adanya tawaran-tawaran menarik di balik itu. Akhirnya, sebagian keluarga besar HMI tidak terima dengan keputusan tersebut dan memilih bertahan dengan membuat HMI berasas Islam. Jadilah dua versi HMI. Pertama, HMI Dipo HMI yang berkantor di Jalan Diponegoro Jakarta. Kedua, HMI MPO Majelis Penyelamat Organisasi. Posisi HMI saat itu memang dilematis. Jika tidak mengganti asasnya, maka terancam dibubarkan oleh rezim Orde Baru. Lalu, dalam Kongres HMI di Padang diputuskan menerima asas tunggal Pancasila. Pemerintah saat itu hanya mengakui HMI Dipo sebagai organisasi yang resmi. Tumbangnya rezim Orde Baru tahun 1998, membawa angin segar di tubuh HMI. Pada Kongres HMI di Jambi tahun 1999, HMI Dipo memutuskan untuk mengembalikan asas Islam di tubuh organisasi. Sayangnya, antara HMI Dipo dan HMI MPO tidak otomatis menyatu kembali seperti sedia kala meski keduanya berasas antara HMI Dipo dan HMI MPO memiliki perbedaan karakter dan tradisi keorganisasian. HMI Dipo dinilai lebih dekat dengan kekuasaan dan cenderung pragmatis. Sebaliknya, HMI MPO masih mempertahankan sikap kritis pada penguasa. Meski demikian, HMI telah memberikan sumbangsih besar pada perkembangan negara Indonesia. Banyak jebolan HMI yang menjadi tokoh nasional. Misalnya mantan wakil presiden Jusuf Kalla, mantan ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie, Yusril Ihza Mahendra, Amien rais, Ade Komarudin, Hamdan Zoelva, Fadel Muhammad, dan masih banyak juga Kader HMI Pukuli Jurnalis Persma Unindra yang Kritisi Omnibus Law AJI-LBH Pers Kecam Kader HMI yang Pukuli Jurnalis Persma Unindra - Politik Kontributor Ilham Choirul AnwarPenulis Ilham Choirul AnwarEditor Alexander Haryanto Sejarah Perpecahan HMI Fragmentasi di dalam gerakan mahasiswa bukanlah hal yang mengejutkan karena gerakan mahasiswa memang bukan gerakan yang kohesif dan solid. Gerakan mahasiswa tidak berdiri di atas pondasi yang homogen sehingga rentan dengan kemungkinan terfragmentasi di antara mereka. Perbedaan cara pandang dan motivasi dapat membuat gerakan mahasiswa terseret arus konflik yang pada akhirnya akan menurunkan kekuatan mereka dalam menghadapi negara. Padatahun 1970-an terdapat perbedaan pendapat di antara kalangan HMI dalam menempatkan Islam dan negara. Sebagian kalangan menempatkan Islam dikedudukan yang paling tinggi, sehingga undang-undang negara harus disesuaikan dengan ajaran agama Islam. Pihak lain menganggap Islam adalah bagian dari negara karena negara lebih superior. a. Penyebab perpecahan Pemerintahan Soeharto pada era Orba sangat mengutamakan politik keseragaman dan pemusatan kekuasaan. Oleh karena itu, semua kekuatan sosialdan politik dipaksa untuk mengubah dasarnya dengan Pancasila. Jika menolak, dapat berakibat dibubarkan. Tahun 1985, pemerintah mengeluarkan kebijakan UU Ormas yang mewajibkan semua ormas memakai asas tunggal Pancasila. HMI pun terkena dampaknya. Kongres XVI di Kota Padang tahun 1986 menjadi saksi pengaruh negara yang berlebihan untuk memaksakan asas tunggal. MPO majelis penyelamat organisasi HMI menolak menurut mereka Islam adalah satu-satunya ideologi yang mereka anut dan dengan menurut pemerintah, berarti gerakan mahasiswa sudah melupakan karakteristik mendasar, yaitu oposan dan tidak pro status-quo. HMI akhirnya pecah menjadi dua, HMI ”Pancasila” menjadi HMI yang ”resmi” diakui negara tahun 1999 HMI-DIPO mengubah asas Pancasila menjadi Islam dan HMI Majelis Penyelamat Organisasi HMI MPO yang tetap kukuh berasas Islam. b. Perbedaan HMI-MPO dan HMI-DIPO HMI-DIPO menilai MPO adalah pemberontak yang menyempal dari HMI, sehingga keberadaannya tidak sah. Sedangkan MPO menilai DIPO adalah sekelompok pengkhianat karena tunduk terhadap status quo. DIPO dinilai jauh dari gerakan mahasiswa yang oposan dan menentang status quo. HMI DIPO dinilai lebih moderat karena mau menggunakan taktik menerima asas tunggal, sedangkan MPO dinilai lebih fundamental dan tidak mau menyerah pada pemerintah yg tiran. Pilihan HMI-MPO unt uk “berhadap - hadapan” dengan rezim Orba, mau tidak mau menempatkannya pada posisi pinggiran peripheral sebagai organisasi underground. Kendati demikian, hal tersebut lalu membentuk karakteristik gerakan HMI-MPO yang cukup tiga kawasan strategis yang menjadi tipologi besar gerakan HMI-MPOPertama, gerakan moral-politik yang terkonsentrasi di Jakarta. Kedua, gerakan berbasis moralitas Islam-politik yang menonjolkan nilai-nilai usuliyah, tersentralisasi di Makassar dan sekitarnya. Ketiga, gerakan intelektualisme yang berkembang dikawasan Yogyakarta. Sedangkan HMI DIPO membagi „spesialisasi‟ gerakan tiapkadernya menjadi 3, yaitu politisi, intelektual dan dakwah. Pada awal keberadaannya, HMI-MPO tidak hanya sekedar menjadikan Islam sebagai azasnya, tapi juga implementasi nilai-nilai ke-Islam-an yang sangat kental pada kader-kader HMI pada awalnya. Sehingga gerakan HMI-MPO cenderung fundamentalis dan eksklusif. Selain itu, sikap radikal dan militansi kader menjadi sebuah pembeda dengan kalangan organisatoris lainnya. Identitas lain yang terlihat dari HMI-MPO adalah tingkat intelektualitas yang dimiliki para kader-kadernya yang memperlihatkan bahwa budaya diskusi dan membaca sangat mendominasi kader-kadernya. Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya wacana yang digulirkan oleh aktivis-aktivis HMI-MPO, seperti revolusi sistemik dan gerakan tamaddun. Akan tetapi karena tidak mempunyai akses dalam pemerintahan, maka wacana yang dimunculkan hanya sekedar wacana yang tiada pernah terealisasi. Di dalam pelatihan kader, HMI-MPO lebih menonjolkan aspek keislaman dan agak mengabaikan aspek politik/kebangsaan, sedangkan HMI-DIPO banyak membahas unsur kebangsaan, Pancasila dan UUD Negara. HMI-MPO tidak banyak melakukan politik praktis dan lebih memilih melakukan kajian-kajian karena akses politik kader sangat kecil terbatas. Status „ilegal‟ membuat MPO banyak ditekan oleh pemerintah Orba. Usaha untuk menyatukan kedua HMI bukannya tidak dilakukan. PerbedaanAD/ART dan pola rekruitmen pada awalnya menjadi hambatan terjadinya persatuan„2 HMI‟. Nilai dasar perjuangan NDP yang dijadikan landasan perkaderan HMI DIPO berbeda dengan Khittah Perjuangan yang dimiliki HMI MPO, NDP lebih menitikberatkan pada wacana Islam kebangsaan yang dipadukan dengan pemikiran teologi pembebasan liberal sedangkan Khittah Perjuangan menekankan pada wacana penafsiran Islam sebagai pandangan hidup world of view yang diselaraskan dengan pemikiran kesadaran keberislaman teosofi transenden. Namun, padaKongres XXVI HMI di Hotel Novotel, Palembang 29 Juli 2008, kedua HMI sepakat untuk meruntuhkan ego pribadi dan bersatu dalam rangka menegakkan syiar Islam bersama-sama. Islah akan ditindaklanjuti dengan merumuskan anggaran dasar menyatukan asas dan nilai dasar perjuangan dan menyatukan kepengurusan PBHMI serta menyatukan perbedaan-perbedaan kultural kader-kader HMI di kedua belah. HMI pada Orde Lama berasaskan Islam, namun tidak berencana mendirikan negara Islam. Bahkan, salah satu tokoh HMI, Dahlan Ranuwihardjo ketua umum PBHMI 1951-1953 pernah berdebat dan mengusulkan kepada presiden Soekarno untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau NKRI. Sikap intelektual HMI ini bersifat independen. Menjelang pemilu 1955 gerakan mahasiswa terbagi menjadi kiri isu utama anti-kapitalisme, anti-nekolim dan anti-fasisme dan kanan isu anti-komunis & anti kediktatoran. Gerakan kiri misalnya GMNI dan CGMI yang berafiliasi dengan PNI dan PKI, sedangkan gerakan kanan misalnya HMI yang dindikasikan berafiliasi dengan Masyumi. Menjelang demokrasi terpimpin, bandul kekuasaan di bawah Soekarno semakin di sebelah kiri sehingga kelompok mahasiswa kanan mengalami

perbedaan hmi dipo dan mpo